Setelah Sontoloyo dan Genderuwo, Kini Kubu Jokowi Mulai Memainkan 'Politik Pembenaran'
Cyber Army Team- Setelah publik disuguhi
tentang istilah politik 'sontoloyo' dan 'genderuwo', kini muncul politik
pembenaran yang dilakukan oleh pasangan petahana Jokowi-Ma'ruf Amin.
Hal tersebut dianggap sebagai upaya paslon nomor urut 01 untuk mengelabuhi publik jelang Pilpres 2019.
Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno,
Anthony Leong menilai, politik pembenaran adalah cara-cara politik yang
tidak jujur. Mereka tidak mau mengakui kegagalan dan pencapaian yang
tidak sesuai target.
"Misalkan kegagalan dalam mengelola ekonomi, ekonomi lesu tapi dibilang
baik-baik saja, harga bahan pokok tidak stabil dan memberatkan
masyarakat tidak diakui juga. Inilah contoh politik pembenaran yang
terus diaplikasikan oleh kubu sebelah," kata Anthony di Jakarta, Minggu
(18/11/2018).
Koordinator Prabowo-Sandi ini mengungkapkan, bahwa para pendukung capres
petahana ini mengkapitalisasikan isu soal kemiskinan yang memang
dibawah satu digit dengan rekayasa digital.
Padahal, lanjut Anthony, sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia
dari era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga sekarang adalah
kecepatan penurunan penduduk miskin paling lambat sejak dua dekade
terakhir di era Jokowi.
"Presiden Gusdur sanggup menurunkan kemiskinan 5,05 juta jiwa per tahun,
Bu Mega 0.57 jiwa per tahun, Pak SBY 0.72 juta jiwa per tahun dan 0.96
juta jiwa per tahun dalam dua periode kepemimpinannya," beber dia.
"Sedangkan Pak Jokowi hanya 0.51 juta jiwa per tahun. Ini data dari BPS
tapi seakan-akan dibuat persepsinya Pak Jokowi paling berhasil padahal
kecepatan penurunannya paling lambat. Inilah yang dimaksud politik
pembenaran," tambahnya.
Fungsionaris Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini juga
menyinggung pertumbuhan ekonomi yang sejak masa kampanye Jokowi
dijanjikan tumbuh 7%.
Bahkan, target tersebut masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019.
"Namun, selama empat tahun belum satu kali pun pemerintah berhasil
merealisasikan pertumbuhan ekonomi di level 7%. Pertumbuhan ekonomi
mentok di level 5%," ucap Anthony.
"Ini miris karena dalam mengukur keberhasilan seorang pemimpin itu dari
Key Performance Indicator (KPI) nya tercapai atau tidak. Dari target
pertumbuhan ekonomi jauh sekali," imbuhnya. [tsc]