Ibarat Perjudian Antara Jokowi VS Prabowo Subianto
Tidak ada yang bisa menjamin Prabowo
Subianto bakal sukses memimpin negeri ini. Peluang keberhasilan sama
besar dengan kemungkinan kegagalan. Namun, 50 persen harapan itu sudah
cukup untuk menjadi alasan kenapa tahun 2019 harus ganti presiden.
Sebab, Joko Widodo (Jokowi) sudah terbukti gagal, dan berpeluang besar
mengulanginya jika diberi kesempatan satu periode lagi.
Ini
ibarat perjudian. Tak ada yang tahu kita akan menang atau kalah.
Peluangnya sama kuat. Prabowo belum tentu lebih baik dari Jokowi. Begitu
pula sebaliknya, ketua umum Partai Gerindra belum pasti pula lebih
buruk dari mantan gubernur DKI Jakarta tersebut.
Tapi
yang pasti, pertaruhan rakyat Indonesia dengan Jokowi, telah terbukti
kalah. Jokowi gagal membawa negeri ini menjadi lebih baik. Jangankan
membuat rakyat tambah sejahtera, mempertahankan kebahagiaan mereka saja
ia tak sanggup. Banyak yang berharap, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
untuk kembali turun tangan memimpin bangsa besar ini.
Rapor Merah Jokowi
Setidaknya
ada lima rapor merah Jokowi selama empat tahun memimpin negeri.
Pertama, membengkaknya utang negara. Saat ini, utang luar negeri sudah
menembus angka di atas 5 ribu triliun. Kondisi ini sudah diperkirakan
banyak orang, lantaran melihat rezim Jokowi yang berutang dengan
ugal-ugalan.
Jika dibandingkan
dengan era sebelumnya, 10 tahun pemerintahan SBY, negara hanya berutang
Rp1,3 ribu triliun. Sementara empat tahun terakhir, Jokowi membukukan
utang sebanyak Rp2,8 ribu triliun. Jumlah yang teramat fantastis.
Kedua, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sejak
krisis ekonomi 1998, baru di tahun ini nilai tukar rupiah mencapai
titik terlemah hingga berada di atas level Rp 15.200-an per USD. Nilai
terburuk sejak era reformasi bergulir.
Ketiga,
soal ekonomi yang dinilai minim serap tenaga kerja. Janji Jokowi
menciptakan 10 ribu lapangan kerja ternyata cuma isapan jempol semata.
Malahan yang ada, rezimnya memberikan jutaan pekerjaan bagi tenaga kerja
asing asal Cina. Kabarnya, pemberian itu merupakan salah satu klausul
persyaratan guna mencairkan pinjaman dari negara Tirai Bambu tersebut.
Keempat,
penegakan hukum yang tebang pilih. Ini terlihat dengan gamblang. Betapa
dulu terpidana penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama diperlakukan
dengan sangat istimewa, hanya karena ia berteman dekat dengan Istana.
Begitu
pula dengan sejumlah elit politik parpol penguasa yang bebas
melenggang, meski terindikasi terlibat skandal bancakan mega korupsi
proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Terakhir,
soal penuntasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Komnas HAM dan
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras),
memberikan rapor merah bagi kinerja penegakan HAM rezim Jokowi.
Alasannya, Jokowi kurang responsif dalam menyikapi penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Bahkan,
orang-orang yang diduga telah melakukan pelanggaran di masa lalu malah
menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan. Wiranto contohnya.
Orang yang kerap disebut sebagai tokoh terdepan dalam banyak pelanggaran
HAM, justru menjabat Menko Polhukam.
Berkaca
dari semua kegagalan ini, masihkah kita ingin mengundi nasib dengan
Jokowi? Mampukah kita berharap kinerjanya bakal berubah, atau kita semua
akan kembali jatuh ke lobang yang sama? Akan lebih baik jika kini
saatnya kita berjudi dengan Prabowo. Memang, ia belum tentu berhasil
dengan baik, tapi yang pasti, peluang keberhasilannya lebih besar
dibanding Jokowi.
Oleh: Patrick Wilson